Thursday, June 25, 2009

The Giving Tree

Catatan Pekanan Ramlan Nugraha
Bandung, 23 Juni 2009



Future Shock Abad 21



Istilah future shock dikenalkan oleh Toffler pada 1970 yang berpendapat bahwa manusia modern pada hakikatnya mempunyai kecemasan yang luar biasa tentang masa depannya sendiri. Pendapat Toffler yang mengatakan bahwa dunia sebenarnya menanti solusi alternatif bagi permasalahan postmodern yang dihadapinya pada kenyataannya bisa menjawab kecemasan yang semakin hari terus membuntuti bangsa-bangsa Barat.

Pencarian solusi alternatif tersebut bermula dari masalah-masalah yang timbul karena tidak adanya batasan yang mengatur tingkah laku manusia dalam menjalankan kehidupannya. Misal, dalam bidang ekonomi pakar-pakar Barat sangat mengenal istilah “Turbo-Kapitalisme”, yaitu efek dahsyat dari globalisasi yang bisa menggilas negara-negara berkembang bahkan sampai menghancurkan sistem demokrasi didalamnya. Perlahan, mereka mulai sadar bahwa pengaruhnya ternyata malah menghantam mereka sendiri. Mereka membuat onar, serakah terhadap apapun yang diinginkan, ternyata akhirnya mendapat ganjaran setimpal pula sesuai dengan apa yang mereka perbuat.

Dan merekapun merencanakan (skenario) makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan (skenario) makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. (Q.S. An Naml: 50).


The Giving Tree



Masih berhubungan dengan tulisan di atas, ada buku produk luar yang cukup bagus untuk kita ambil pelajaran didalamnya, buku tersebut berjudul The Giving Tree karya Shel Silverstein yang diterbitkan oleh Harper Colluns Publishers (USA, 2007). Walaupun baru sebatas membaca resensinya lewat majalah Annida, tetapi kesan mendalam akan makna filosofis dalam tulisan tersebut setidaknya membuat kita tidak sadar bahwa buku ini adalah buku pengantar tidur anak-anak yang menceritakan kisah seorang anak dengan sebuah pohon yang suka memberi. Wajar memang, buku yang sudah diterjemahkan dalam 30 bahasa ini memiliki pesan moral yang luar biasa. Berikut kutipannya:

“Hampir tidak ada satu keinginan dari anak tersebut yang tidak dipenuhi dan dikabulkan oleh pohon yang ia temuinya di hutan. Pohon ini bukanlah pohon ajaib, ia hanya pohon yang amat mencintai bocah laki-laki ini. Ia tak keberatan ketika bocah laki-laki itu memunguti daun dan membentuknya menjadi sebuah mahkota, bergelayut di dahannya, memakan buah apel yang dihasilkannya, bahkan memanjat batangnya yang kokoh. Sang pohon merasa terus bahagia ketika bermain bersama bocah laki-laki ini. Bocah laki-laki ini terus tumbuh menjadi dewasa. Ia tak lagi bermain-main dengan sang pohon, tetapi ia mulai meminta lebih dan lebih kepada pohon. Sang pohon amat mencintainya, maka apapun yang ia minta, sang pohon selalu mengabulkannya. Hingga tak ada apapun yang bisa diberikan sang pohon untuk bocah laki-laki yang kian beranjak tua, kecuali tempat yang sepi untuk sekedar duduk menyendiri”.