Wednesday, March 24, 2010

Tetaplah Tersenyum Walau Rumah Kebanjiran

[Tulisan saya untuk partner KRC KAMMI Pusat yang Milad pada Minggu ini]

Bandung, 24 Maret 2010

Delapan buah majalah Ummi telah saya obrak-abrik. Hanya sekedar untuk mencari inspirasi tulisan. Tapi entahlah, malam ini saya belum juga menemukan tema yang cocok. Tanpa kehilangan akal, saya tulis saja beberapa judul dalam majalah tersebut. Mudah-mudahan kalau ini dikumpulkan bisa nyambung sebagai satu tema tulisan. Setiap judulnya memberikan kesan agar kita terus meningkatkan kualitas hidup. Nah, mungkin ini hadiah terbaik yang bisa saya berikan kepada teman saya.

Pertama, Akhir yang baik?, tafakurnya Zirlyfera Jamil yang mengantarkan sebuah renungan “Setiap detiknya, setiap diri sesungguhnya tengah memahat sebuah prasasti berwujud autobiografi, satu catatan yang akan terus dikaji, dibaca dan dikenang oleh anak, cucu dan para penerus tugas kehidupan. Pertanyaannya: Seperti apa kita ingin dikenang bila tak lagi berada di dunia ini?”

Kedua, Lambaian Jilbab di Taman-taman Rotterdam. Cerita perjalanan dua orang akhwat mahasiswa teknik elektro yang mengikuti Summer School on Biomedical Sciences and Technology di Rijksuniversiteit Groningen (RuG), Belanda pada beberapa tahun yang lalu. Inti ceritanya sih dapat ditebak, bahwa akhwat harus terus berprestasi. Ah, saya pikir semua akhwat pun sudah tahu tentang urgensi ini. Tapi, lebih dari itu ternyata. Saya teringat syairnya Iqbal: Di Barat, Akal adalah sumber kehidupan/ Di Timur, Cinta adalah basis kehidupan/ Melalui Cinta, Akal menjadi akrab dengan Realitas/ Dan pada karya Cinta, Akal memberikan stabilitas/ Bangkit dan letakkan fondasi dunia baru/ Dengan mengawinkan Akal dan Cinta//

Ketiga, Menjaga kesalihan, sekarang dan selamanya. Menurut tulisan ini, seseorang amat dipengaruhi oleh tuntutan diri dan tuntutan lingkungannya. Karena manusia adalah anggota suatu lingkungan masyarakat, maka standar yang muncul dalam satu lingkungan akan memicu seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan standar tertentu itu pula. Bila standarnya tinggi, seseorang akan memicu dirinya sesuai dengan standar tinggi, sementara bila tuntutan lingkungan lemah, akan memicu seseorang memiliki standar yang lemah pula.

Keempat, Manajemen Amarah. Ini tulisannya DR. Setiawan Budi Utomo, anggota Dewan Syariah Nasional MUI. Kenapa judul tulisan ini terlintas dalam pikiran saya? Karena tempat tinggal teman saya tersebut berada di daerah banjir, ya mungkin adrenalinnya agak meningkat akhir-akhir ini. Tulisan ini setidaknya menawarkan solusi untuknya agar tetap bersabar dan pintar memanage amarah.

Intinya begini, Ustad Budi ini mengutip beberapa referensi buku: Pertama, Taoist Ways to Transform Stress into Vitality (1997). Teorinya begini: Emosi, ekspresi dan aktivitas keseharian akan menimbulkan energi manusia yang berbeda-beda. Emosi-emosi negatif memicu energi tingkat rendah. Sebaliknya, emosi-emosi positif memancarkan energi tingkat tinggi. Nah, intinya kita bisa memanage amarah dengan memancarkan energi-energi positif.

Pengalaman Norman Cousins, mantan editor The Saturday Review dalam Anatomy of An Illness pun bisa menjadi pelajaran. Ceritanya begini, si Cousins ini berhasil menyembuhkan dirinya dari penyakit kronis dengan mengikuti aktivitas-aktivitas yang menimbulkan keceriaan seperti menikmati cerita humor. Dia berkata: “Betapa dahsyatnya energi positif senyum yang tulus dalam menyikapi hidup. Sebaliknya, amarah yang diumbar akan memicu penyakit dan menambah keruwetan hidup.”

Selamat Milad Mba Arum. Harapannya: Teruslah bertafakur untuk membangun prasasti autobigrafi yang membanggakan umat, lambaikan jilbabmu dengan terus menuntut ilmu, jagalah lingkungan Islam yang berstandar tinggi dan tetaplah tersenyum walau rumahmu kebanjiran.


Best Regard,
Ramlan Nugraha