Wednesday, February 18, 2009

Bakti kami untuk Pendidikan Indonesia !

Setelah sholat Isya (18/02), dua orang teman berkunjung ke tempat saya. Awalnya hanya untuk mengembalikan buku, tapi pada akhirnya nostalgia mereka pun dimulai disini.

Cerita tentang Program Latihan Profesi (PLP) atau program mengajar para mahasiswa kependidikan tingkat akhir di Universitas Pendidikan Indonesia yang mereka laksanakan semester kemarin menjadi sebuah cerita penuh hikmah bagi saya khususnya.

Awal cerita, mereka berdua merupakan bagian dari tim/perwakilan Universitas yang ditempatkan untuk mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terpencil. Saya sendiri tidak mendaftar untuk mengikuti program ini, karena rencana studi yang mengharuskan mengikuti program ini satu semester lebih lambat dibandingkan dengan yang lain. Mereka mendapatkan tugas mengajar oleh pihak Universitas di daerah pedalaman Lampung dan Ciamis (nama daerah lengkapnya saya lupa). Khusus untuk yang di Lampung, perjalanan dari Bakauheuni sampai lokasi berjarak tempuh 3 (tiga) hari, perjalanan memakai mobil plus ojeg, bahkan salah seorang teman yang lain ada yang menempuh perjalanan selama seminggu ke tempat lokasi PLP.



Panjang jika saya tulis uraian cerita mereka berdua. Pengalaman mereka selama kurang lebih satu semester disana coba saya singkat saja.

1. Pedalaman Lampung (perbatasan Lampung- Sumatra Selatan)


Daerah yang dihuni mayoritas para transmigran Hindu ini sangat kekurangan sumber daya manusia, khususnya tenaga pengajar lulusan dari Lembaga Perguruan Tinggi Kejuruan (LPTK). Proses belajar mengajar pun tidak berjalan sesuai dengan ketentuannya. Ada hal yang lucu dimana seorang pengajar bertitel Sarjana Agama (S.Ag) mengajar mata pelajaran Kopling (clutch), ini hanya satu saja contoh, yang lain wah sangat banyak. Pengajar yang hanya lulusan SMK pun masih banyak ditemui disana.

Selain bergulat dengan hal itu, teman saya pun harus bergulat dengan babi, anjing yang masuk ke ruangan kelas (mayoritas disana Hindu). Mohon di maklum juga, ruangan kelas disana sangat berbeda dengan ruangan kelas ideal seperti di tempat-tempat yang relatif maju.

Fasilitas, dll wah saya kira tidak perlu saya ceritakan lagi deh..

2. Pedalaman Ciamis.

Pengalaman terkacau di seantero teman-teman saya yang mengikuti program ini adalah cerita dari teman yang satu ini.

SMK yang berada di pelosok, tenaga pengajar yang serba terbatas ternyata tidak mengurangi semangat korupsi menjalar ke sekolah ini. Korupsi, yang kita dengung-dengungkan untuk diberantas rupanya sangat merajalela di sekolah ini. Saya kaget juga, teman saya yang sebelumnya agak sedikit nge-preman and nge-genk, ini ternyata dihadapkan pada sebuah kasus seperti ini. Kasus korupsi yang melibatkan para oknum komite sekolah yang menjadikan kepala sekolah hanya suruhan saja. (Waduh.. berat juga nih).

Teman saya menduga, setiap bulannya puluhan juta dana sudah disalip oleh para oknum komite sekolah. Kekuasaan komite sekolah yang sepertinya tidak terbatas di sekolah ini, menjadikan kepala sekolah beserta para guru tunduk tidak berdaya. Sampai-sampai, gaji guru honorer pun harus dibayar oleh kepala sekolah sendiri. Padahal gaji kepala sekolah sendiri belum ada tambahan, karena belum ikut sertifikasi.

Penutup

Saya mungkin tidak terlalu detail menulis cerita ini. Tapi secara pribadi saya sangat salut dengan pengorbanan mereka yang luar biasa. Mereka yang dulu agak senang dengan dunia agak hura-hura, kini berubah drastis ketika sudah dihadapkan dengan realita yang ada.

Mereka memecut diri sendiri, dengan semangat pengabdian untuk negeri tercinta. Gaji yang seadanya dan berusaha survive di tengah pedalaman. Menjadikan mereka berbeda dengan kondisi sebelum mengikuti program ini satu semester kemarin. Ucapan syukur kepada Allah SWt, yang menjadikan mereka mengerti atas semua ini []