Friday, February 20, 2009

‘Interaksi Dialektis’ Anak Sekolah Kejuruan

Pengantar



Hampir seminggu sudah saya melaksanakan Program Latihan Profesi (PLP) di SMKN 8 Bandung. Program yang rencananya sampai Juni 2009 ini setidaknya membuat saya lebih sadar tentang realita pendidikan kita saat ini. Rasa bangga juga tersirat melihat beberapa anak bangsa yang belajar merangkai peta hidupnya masing-masing demi meraih cita-cita yang mereka inginkan.

SMKN 8 Bandung merupakan sekolah bidang teknologi dan rekayasa yang nenpunyai konsentrasi khusus jurusan Otomotif. Selain SMKN 6 Bandung, sekolah ini juga merupakan sekolah kejuruan bidang Otomotif yang terbaik di Jawa Barat.

“Smart, Skill and Competence” menjadi slogan sekolah yang telah memiliki ISO 9001 : 2000 ini. Pemberian sertifikat yang baru beberapa bulan diberikan ini terkait dengan satu standar persyaratan sistem manajemen mutu yang berorientasi pada mutu produk/jasa. Mengutip perkataannya DR. Bachtiar Hassan, seorang Guru Besar UPI, bahwa standar ini mengharuskan sebuah organisasi perlu memperagakan kemampuannya dalam menyediakan produk yang memenuhi persyaratan pelanggan dan peraturan yang berlaku serta bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.

Pada tulisan kali ini saya tidak akan membedah pada wilayah profil sekolah ini, tapi saya hanya ingin mengatakan kepada saya sendiri, anda dan orang di sekitar kita tentang paradigma pendidikan kejuruan kita saat ini.

Setiap orang yang membaca slogan “Smart, Skill and Competence” mungkin akan berpikir tentang outcomes yang dihasilkan oleh sekolah ini. Suasana industri sangat kental menjadikan seluruh proses kegiatan belajar mengajar di setiap sekolah kejuruan. Mungkin orang mengatakan, “hal ini wajar, karena orientasi utama mereka adalah pasar.”.

Technopoli

Prediksi ke depan bahwa sektor swasta akan menguasai segenap sektor strategis di negeri ini menjadi hal yang mungkin bisa terjadi kalau situasinya sperti ini terus. Saya jadi ingat perkataannya Gandhi, “Bumi mempunyai sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang tamak.” Betul, korporasi terbesar di dunia yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menjadikan seluruh agendanya hanya untuk mengeruk kekayaaan semata, menyebarkan virus kapitalisme.



Dalam bidang otomotif misalnya, ketika muncul produk yang baru akan dipastikan munculnya para technophile (pecinta teknologi) yang kerjaannya terus menerus memuja (hype) produk tersebut, di satu pihak ada mereka yang technopobics atau pihak yang khawatir dengan dampak teknologi dari produk tersebut. Kedua pihak tersebut merupakan dampak dari munculnya sebuah produk teknologi terbaru. Ini konsekuensi ketika saat ini kita hidup dalam sebuah zaman yang disebut dengan technopoli (dunia yang kemajuannya dikarakteristikkan dengan kemajuan teknologi).

Interaksi Dialektis

Bangsa kita dituntut untuk mempunyai posisi yang jelas dalam percaturan seperti ini. Merujuk pada Manuel Castells, bahwa teknologi tidak sepenuhnya menentukan (determine) arah masyarakat, teknologi mencakup dan meliputi (embody) masyarakat. Namun demikian, masyarakat juga tidak sepenuhnya menentukan arah inovasi teknologi, masyarakat menggunakannya (use).

Saya pribadi, ketika proses mengajar sebisa mungkin mengarahkan siswa untuk melakukan ‘interaksi dialektis’ terhadap produk teknologi yang sedang/akan mereka pelajari ataupun yang sedang berkembang saat ini. Hal ini setidaknya akan memunculkan rasa kritis dan percaya diri dalam diri siswa itu sendiri.

Salah satu pendapat dari pakar pendidikan kejuruan, Prof. DR. H.A.R Tilaar dalam bukunya yang berjudul ‘Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi ‘ mengatakan bahwa, ‘Dengan semakin berdayanya sektor swasta, dan semakin kuat dan berkembangnya masyarakat madani (civil society), maka fungsi pemerintah ialah mengarahkan dan memberdayakan yang lemah… Di dalam hal ini terjadi proses privatisasi kegiatan masyarakat bukan hanya terbatas pada lembaga-lembaga ekonomi, tetapi juga lembaga-lembaga sosial. Privatisasi lembaga-lembaga masyarakat di bawah bimbingan pemerintah akan lebih dinamis dan efisien dan peka akan perubahan karena tidak terjebak di dalam kungkungan birokrasi pemerintah yang lamban.’

Interaksi dialektis akan memunculkan sebuah pendapat konkret yang agak berbeda dengan pendapat sebelumnya. Pandangan diatas akan kontradiktif ketika dihadapkan pada pernyataan bahwa salah satu alasan yang mendasari privatisasi pendidikan adalah tekanan IMF dan Bank Dunia melalui Konsensus Washington yang berisi tentang usulan agar Pemerintah Indonesia mengurangi subsidi untuk kebutuhan sosial dasar, termasuk pendidikan agar bisa membayar bunga dan cicilan utang luar negerinya. Kedua, karena Indonesia masuk dalam negara-negara anggota WTO (World Trade Organization) yang didalamnya menyatakan bahwa setiap anggota harus menerapkan GATS (General Agreement on Trade in Services) yaitu memasukkan sektor pendidikan sebagai salah satu sektor yang akan dilebralisasikan. Lingkupnya terdiri dari Primary Education Services; Secondary Education Services; Higher Education Services; Adult Education Services).

Penutup

Secara bertahap, saya berusaha untuk meyakinkan semua pihak ternasuk para siswa saya (tentu disesuaikan dengan tahapan berpikir mereka) untuk sama-sama kita tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh para para pemimpin bangsa sebelumnya. Bertekuk lutut di hadapan antek kapitalis, menjual asset bangsa demi sejengkal harapan kosong. Kita bangsa besar, mempelajari dan mengaplikasikan teknologi adalah keharusan, tapi diperbudak teknologi adalah kesalahan bagi kita.



Idealis untuk kebenaran
Lebih berarti dibandingkan
Lemah dalam bergerak !





Wallahu’alam.