Monday, April 20, 2009

UN lagi, UN lagi..

Ramlan Nugraha
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia
Ketua Dept. Kebijakan Publik KAMMI Wilayah Jawa Barat


A. Pendahuluan

Pro kontra tentang keberadaan Ujian Nasional (UN) masih menjadi perdebatan panjang di Republik ini. Secara hukum, seharusnya perdebatan tentang hal ini sudah selesai. Kenapa ? Karena pada tanggal 21 Mei 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui keputusannya telah mengabulkan gugatan subsider dalam perkara Citizen Lawsuit tentang Ujian Nasional. Pasca keputusan tersebut, seharusnya para stakeholders yang memberikan kebijakan pelaksanaan UN berpikir ulang tentang keberadaan UN. Tapi nyatanya sampai sekarang, hal ini belum juga dilakukan. Sudah bukan rahasia umum lagi, muatan politis seringkali bahkan hampir mendominasi setiap kebijakan yang dikeluarkan, termasuk dalam pelaksanaan UN ini.

Keberadaan UN pada dasarnya untuk menilai sebuah mutu pendidikan. Dengan cut off score sebesar 5,5 untuk nilai beberapa mata pelajaran dan 7,0 untuk nilai kompetensi siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pemerintah berkeyakinan bahwa mutu pendidikan dapat meningkat jika rekapitulasi siswa yang lulus meningkat tiap tahunnya.




Sebelum melangkah lebih lanjut, alangkah baiknya sekiranya kita membaca kembali pengertian pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 1

(1). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Secara luas, pendidikan diartikan untuk mewujudkan manusia yang memiliki beberapa aspek diatas. Artinya mendidik dan menilai siswa harus memakai perspektif menyeluruh dan tidak bisa menjustifikasi hanya dengan ranah kognitif saja, seseorang menilai mutu sebuah pendidikan berhasil atau tidaknya.

Menurut Prof. Soedijarto (2007), Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jerman tidak menggunakan UN sebagai standar untuk melihat mutu pendidikan. Mereka menerapkan beberapa kebijakan seperti di bawah ini :

1. Menyediakan guru yang profesional.
2. Menyediakan fasilitas yang lengkap seperti adanya fasilitas olah raga dan ruang kerja guru.
3. Media pembelajaran yang kaya, kelengkapan perpustakaan sehingga memungkinkan siswa untuk terus menerus membaca.
4. Evaluasi terus menerus, komperehensif dan obyektif.

Metode ujian yang dilaksanakan tidak seperti di Indonesia. Di kita, sebagai contoh adalah UN untuk tingkat sekolah menengah. Ujian Nasional sebagai penentu keberhasilan seorang siswa dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun sekali. Dengan materi yang luar biasa banyak, maka setiap siswa harus berupaya maksimal dalam melakukan proses persiapan.

Masih menurut Prof. Soedijarto (2007), dari empat poin kebijakan diatas maka yang menjadi penekanan adalah poin terakhir, yaitu evaluasi terus menerus, yang dilakukan secara komperehensif dan obyektif. Sederhananya, metode evaluasi yang dilakukan adalah setiap hari belajar maka selalu ada tugas dan penilaian. Ketika belum lulus dalam satu pelajaran siswa belum bisa melangkah ke pelajaran berikutnya, tetapi harus mengulangnya sampai dengan lulus. Dalam dunia pendidikan kita menyebutnya belajar tuntas (mastery learning).


B. Penilaian komperehensif dan Fairness

Program belajar tuntas (mastery learning) akan menekankan penilaian yang objektif atas kualitas ketercapaian seorang siswa. Penilainya tentu guru yang bersangkutan. Nah, tingkat kemampuan seorang gurulah yang nanti sangat menentukan proses objektifitas penilaian (assessment) tersebut. Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru atau pendidik adalah professional, kepribadian, sosial dan pedagogik. Proses belajar mengajar bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan (knowledge) saja, tetapi transformasi seseorang menjadi lebih bermakna. Peran memahami ilmu pedagogik tentu akan sangat membantu seseorang dalam memahami kewajibannya sebagai seorang pendidik. Sangat disayangkan memang, orang yang tidak mempunyai standar/sertifikasi sebagai pendidik (di lembaga pendidikan) bertebaran dengan bebas di Republik ini. Terlepas dari kualitas Lembaga pemberi sertifikasi yang harus kita kupas tuntas juga, tapi akan sangat panjang jika kita bahas di sini.

Pandangan yang tidak komperehensif sangat terlihat pada pelaksanaan UN. Ujian yang dilakukan hanya ditekankan pada beberapa mata pelajaran tertentu saja. Padahal pelajaran-pelajaran tersebut lebih mengarahkan pada aspek kognitif yang merupakan sebagian kecil saja aspek yang harus dimiliki oleh setiap siswa.

Mengutip pendapatnya Prof. Hamid Hasan (2007), bahwa dalam teori pendidikan salah satu prinsip tes adalah fairness. Prinsip ini menjelaskan bahwa suatu tes haruslah dilakukan secara fair kepada mereka yang telah memiliki pengalaman belajar yang sama. Jika suatu tes (yang sama) diberikan kepada peserta tes yang memiliki pengalaman belajar yang berbeda dalam kualitas, maka prinsip fairness telah dilanggar. Oleh sebab itu, tes yang digunakan dalam UN melanggar prinsip ini karena UN harus diikuti oleh mereka yang memiliki pengalaman belajar dengan kualitas yang berbeda.


C. Penutup

Sangat panjang jika kita runut alasan-alasan mengapa UN tidak mencerminkan mutu pendidikan secara komperehensif. Yang patut kita lakukan hari ini adalah mendorong stakeholders agar mempunyai goodwill yang jelas terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Kritik bahwa sudah seharusnya pemangku jabatan yang berwenang dalam bidang pendidikan – Menteri Pendidikan Nasional, red. – adalah mereka yang mempunyai kapasitas yang jelas dalam bidang pendidikan (kepakaran) mestinya mendapat perhatian yang lebih bagi siapapun presiden yang nanti terpilih.



Wallahu’alam bishshawab.

Bandung, 20 April 2009