Monday, March 16, 2009

Jelang Pemilu : Tong Asal Ngomong, Bilih Peureup Ngalayang !

Ramlan Nugraha
Beres UTS Anak-anak..




Memasuki pekan pertama masa kampanye terbuka, masyarakat kembali disuguhi dengan berbagai atraksi menarik dari para caleg dan partai politik peserta pemilu 2009. Di sebagian pihak, ada masyarakat yang jenuh melihat kondisi ini. Dalam rentang 5 tahun terakhir saja, tercatat sudah 32 kali Pemilihan Gubernur, 466 kali Pemilihan Walikota/Bupati dan 65.260 kali Pemilihan Kepala Desa. Intensitas seringnya melakukan pemilihan ternyata tidak sebanding dengan perubahan yang ingin dicapai. Hal yang kontradiktif ini sedikitnya membuat degradasi semangat bagi sebagian orang. Alhasil, masyarakat pun sudah jenuh dengan yang ajang demokrasi ini.

Khusus di Jawa Barat, dengan jumlah pemilih lebih dari 29 juta orang yang tersebar pada 70.191 TPS di berbagai daerah, jumlah yang begitu besar ini merupakan potensi suara yang luar biasa bagi para caleg yang akan bertarung pada 9 April nanti. Sudah bukan rahasia umum lagi, beberapa partai politik pun sudah jauh-jauh hari untuk menargetkan lumbung suaranya di Tatar Sunda ini. Capres dari Partai Hanura Wiranto misalnya, ketika berkunjung ke Bandung beberapa bulan silam pernah mengatakan bahwa Jawa Barat akan dijadikan basis suara bagi Partainya tersebut. Begitu juga dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai yang menempati peringkat ketiga pada Pemilu 2004, pada Pemilu kali ini siap untuk menyalip Partai Golkar maupun PDIP yang menempati peringkat pertama dan kedua. Dengan terpilihnya Ahmad Heryawan sebagai Gubernur dan beberapa jagoannya terpilih sebagai pemenang di beberapa Pilkada di Jawa Barat, PKS siap untuk memutihkan Jawa Barat.

Untuk memperebutkan suara yang luar biasa tersebut, kampanye terbuka yang dimulai pada 16 Maret sampai 5 April 2009 besok merupakan salah satu sarana bagi seluruh partai politik untuk menawarkan berbagai programnya kepada masyarakat.

Belajar dari Pemilu 2004 yang lalu, kampanye dengan arak-arakan dan panggung musik masih menjadi trend mark kampanye di Jawa Barat. Harus diakui, kondisi masyarakat yang lebih banyak terdapat di pesisir perkotaan menjadi penyumbang terbesar dalam hal ini. Meskipun para pengamat politik mengatakan bahwa tingkat efektivitas kampanye yang dilakukan dengan hal tersebut terkesan mubazir dan pengaruhnya tidak terlalu signifikan pada sumbangan suara, tetapi mau tidak mau masyarakat di Jawa Barat tidak terlalu peduli dengan hal tersebut.

Tradisional Komunal

Mengutip perkataannya Yesmil Anwar, Sosiolog Universitas Padjajaran bahwa masyarakat kita masih mempunyai rminat untuk berkumpul di satu titik dalam beraktivitas, termasuk bidang politik. Masyarakat masih senang dengan komunikasi yang nyata seperti dengan kampanye terbuka. Proses keramaian yang nyata memiliki nilai lebih bagi masyarakat. Istilah ini beliau namakan Tradisional Komunal.

Di lain pihak, mayoritas masyarakat perkotaan lebih menginginkan kampanye dengan metode dialogis. Dengan jumlah yang tidak terlalu banyak, hal ini dianggap lebih efektif untuk mengetahui program-program setiap caleg maupun partai politik.

Kampanye cerdas yang ditawarkan oleh para akademisi pun seharusnya diimbangi dengan kemampuan mereka dalam memahami kondisi sosial ataupun geografis di Jawa Barat. Saya pribadi, tidak jarang berhadapan dengan orang-orang seperti ini. Mereka banyak keluar teori-teori, tapi aplikasi di lapangan nol besar, Kalau orang Sunda mengatakan, “Tong asal ngomong, engke jadi bodo katotoloyo (Jangan asal bicara, nanti jadi kelihatan bodoh sekali)”.

Pendidikan politik cerdas tentu bukan hanya di forum tertutup saja, tapi menganalisis karakter setiap masyarakat menjadi hal penting dalam strategi berkampanye. Kampanye terbuka dengan arak-arakan mungkin akan lebih efektif bagi suatu masyarakat tertentu dibandingkan dengan seminar, diskusi panel, dll.

Mari kita lihat, pada Pemilu 1997 orang-orang berduyun-duyun masuk menjadi anggota PPP. Dengan kesadaran sendiri, mereka mau menjadi anggota partai karena kesadaran akan rezim Golkar yang otoriter. Maka beralihlah mereka ke PPP. Suara PPP pun melonjak.

Pada Pemilu 1999, PDIP menjadi partai yang sangat disukai oleh rakyat. Karena faktor kedzaliman Soeharto terhadap Megawati, partai yang menggaung-gaungkan slogan “Pembela Wong Cilik” ini akhirnya mendapatkan suara terbanyak. Pada masa kampanye, orang-orang dengan sukarela mendirikan ribuan bahkan ratusan ribu Posko Banteng di seluruh Indonesia. Mereka menaruh harapan pada Megawati.

Pada Pemilu selanjutnya yaitu 2004, akibat kekecewaan pada pemerintahan sebelumnya yang tak kunjung konsisten dengan agenda reformasi, maka masyarakat pun mencari partai reformis yang bersih dari antek Orde Baru dan antek Megawati. PKS yang dipelopori oleh para intelektual muda muncul memberikan harapan baru pada masyarakat Indonesia. Masyarakat pun simpati, mereka rela membeli kaos-kaos PKS, stiker-stiker pun tidak jarang mereka beli dengan uang sendiri, masyarakat bangga bila berkampanye dan memakai kaos PKS. Seakan aku adalah sang reformis, aktivis perubahan yang siap merubah Indonesia.

Pemilu sekarang ?

Meskipun MUI sudah mengeluarkan fatwa Haram untuk Golput, tapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat Golput pada Pemilu kali ini akan meningkat. Kekecewaan masyarakat sudah menunjukkan tingkat klimaks. Perubahan yang diharapkan ternyata tak kunjung datang. Partai Politik hanya milik kepentingan segelintir orang saja, bukan milik seluruh masyarakat.

Epilog

Episode-episode penting dalam usia Republik ini menunjukkan bahwa siapapun yang berjuang untuk kepentingan rakyat tanpa niat yang ikhlas untuk kemenangan Islam kadangkala harus berakhir tragis karena pengaruh gemilaunya kekuasaan duniawi semata. Naas, jika catatan kemenangan hanya dilihat dari jumlah suara pada selembar kertas laporan perolehan suara.



Wallahualam bishshawab.