Wednesday, July 1, 2009

Menjadi Pemimpin Lokal Berpikiran Global

Oleh: Ramlan Nugraha
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia
Ketua Departemen Kebijakan Publik KAMMI Wilayah Jawa Barat



A. Pendahuluan


Harus jujur kita akui, lirik lagu grup musik Slank yang berbunyi, “makan ga makan, asal kumpul” sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Rasa kekeluargaan yang sangat tinggi menjadi satu kekuatan bangsa ini untuk tetap eksis dalam menjaga karakter bangsa. Tetapi, ada satu hal yang perlu kita perhatikan. Belajar dari Pileg kemarin, paradigma election yang lebih menekankan pada aspek hanya memilih saja, ternyata masih menjadi hal yang harus kita benahi bersama. Paradigma tersebut sudah seharusnya kita ganti menjadi selection yang menitikberatkan pada aspek tidak asal terpilih, tapi layak terpilih. Memilih sesuatu dari sudut pandang menyeluruh.



Tugas besar setiap orang terutama yang diamanahkan untuk berada di garda terdepan (front line) penyokong intelektual bangsa adalah mengarahkan masyarakat dalam wilayah pergeseran paradigma ini. Segala aspek yang mengarahkan untuk tercapainya hal ini akan berdampak pada peningkatan kualitas bangsa menjadi lebih baik. Proses pergeseran paradigma ini tentu bukan sekedar dalam sektor politik saja, tetapi harus diperluas ke sektor-sektor lain yang lebih strategis.

Dalam konteks ini, pihak-pihak yang berjuang untuk menggeser paradigma masyarakat menuju proses selection dalam sektor apapun, mereka layak kita sebut sebagai pemimpin. Tetapi dalam koridor seperti apa mereka layak disebut sebagai seorang pemimpin, terutama ketika berhadapan dengan sebuah kompleksitas pengaruh global yang tidak pernah berhenti merongrong bangsa dan negara ini ?


B. Tantangan Globalisasi



Dalam bukunya yang berjudul Turbulance in World Politics, Rosenau berpendapat bahwa globalisasi diakibatkan oleh dinamika teknologi yang mengurangi jarak global serta gerakan manusia yang cepat. Dalam konteks referensi keilmuan, tidak sedikit orang yang menjadikannya dasar bahwa globalisasi merupakan sebuah proses yang tidak dapat dihindari oleh siapapun. Alhasil, pihak-pihak yang sepakat dengan pendapat ini pun menceburkan diri ke dalam arus globalisasi.

Arus globalisasi ternyata malah membuat negara ini terjerat utang. Dunia global dengan Amerika Serikat sebagai panglima, nyatanya tidak sesuai dengan karakter khas bangsa Indonesia yang mengedepankan asas kekeluargaan dan gotong royong. Hakikat dari globalisasi pada dasarnya adalah sebuah proses liberalisasi di segala bidang, terutama pada sektor ekonomi. Tetapi hal yang paling parah adalah secara bertahap masyarakat diarahkan untuk menjadi individualistis dan materialistis yang hanya mementingkan keuntungan semata.

Salah satu strategi globalisasi adalah membuat skenario pembuatan regulasi di sebuah negara sasaran. Tujuannya tidak lain agar regulasi tersebut berpihak pada kapitalisasi sumber daya. Hal lain diantaranya adalah menjerat negara-negara berkembang dengan utang sampai pada infiltrasi orang-orang yang pro globalisasi pada pemerintahan tertentu.

Sebagai contoh adalah UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dalam regulasi tersebut, Pemerintah membuka keran yang luas kepada pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Alhasil, beberapa sektor strategis bangsa ini pun banyak dikuasai oleh pihak asing. Ironi, sesuatu yang telah diatur oleh UUD 1945 bahwa sektor-sektor strategis bangsa haruslah dikuasai oleh negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, ini malah sebaliknya bahkan melanggar apa yang telah diamanahkan oleh UUD 1945.

Sebagai bangsa yang besar, pemahaman kita akan arti globalisasi tidaklah sesempit yang dibayangkan. Rasa takut dan minder jika berhadapan dengan globalisasi justru hanya akan membuat bangsa ini lemah tidak berdaya. Kita tidak perlu takut sedikitpun terhadap globalisasi. Proses interaksi dengannya harus kita lakukan dengan selektif, tidak asal menerima ataupun menolak begitu saja. Justru disinilah karakter bangsa harus kita tunjukkan. Mengutip pendapatnya DR. Bambang Rudito, Antropolog dari Universitas Andalas, bahwa interaksi antar budaya yang berbeda akan menciptakan sebuah akulturasi. Akulturasi pada dasarnya bukanlah semata-mata menjadi penyebab masalah sosial, tetapi akulturasi merupakan juga suatu proses dari berkembangnya suatu masyarakat. Dengan adanya akulturasi, maka proses perubahan dari luar akan dapat terjadi. Masih menurut beliau, perubahan sangat dibutuhkan oleh suatu kehidupan bermasyarakat karena akan membawa kondisi masyarakat ke dalam keadaan yang lebih baik.

Dalam koridor inilah sebenarnya kita akan melihat siapa pemimpin sesungguhnya. Seseorang yang dia faham harus mengarahkan kemana arah bangsa ini. Dia mempunyai prinsip kuat dalam membangun negerinya sesuai dengan jati diri bangsa sesungguhnya. Kapitalisme sebagai anak dari globalisasi tentu bukanlah hal yang sepadan jika disandingkan dengan karakter khas bangsa ini, dan pemimpin sesungguhnya faham betul akan arti ini semua.


C. Memperkuat Jati Diri Bangsa



Pengaruh global yang begitu dahsyat sangat terasa bagi setiap individu yang tidak mempersiapkan kekuatan untuk menghadangnya. Tidak jarang berbagai masalah sosial yang muncul diakibatkan karena lemahnya identitas diri dalam menghadapi serbuan-serbuan budaya asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa.

Dalam konteks lokal percaturan dunia, Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber daya alam luar biasa dengan jumlah penduduk no. 4 terbesar di dunia. Dengan jalur geografis yang begitu strategis, tidaklah sulit bagi setiap orang untuk masuk ke dalam negeri yang dijuluki Jamrud Khatulistiwa. Hal ini juga diimbangi dengan karakter khas ras Melayunesia yang mempunyai sifat ramah kepada siapapun. Sudah bukan rahasia umum lagi, dunia pun mengakui tentang keramahtamahan masyarakat Indonesia.

Proses interaksi antara dua atau lebih budaya yang berbeda jika tidak disikapi dengan selektif maka akan mengakibatkan tergerusnya salah satu pihak untuk mengikuti budaya yang mendominasi. Dalam Globalization, Malcolm Waters menyatakan bahwa distribusi citra (image) dan informasi adalah pola-pola tipe ideal dalam dimensi lanskap media (mediascape) yang bermain pada arena pertarungan budaya. Budaya merupakan salah satu contoh arena yang dipengaruhi oleh arus global, dan dengan kasat mata kita sangat begitu jelas melihat dampak yang ditimbulkannya. Tidak dapat kita pungkiri ternyata dampak negatif yang ditimbulkan lebih mendominasi dibandingkan dengan dampak positifnya.

Kita harus objektif dalam memandang hal ini, jangan sampai kita terjebak dalam debat yang saling menyalahkan. Hal itu sama dengan membuang waktu jika tidak ada program aksi yang konkret dalam mengatasi hal ini semua.

Beberapa hal yang menurut saya perlu dilakukan oleh seorang pemimpin dalam menghadapi pengaruh global adalah :

1. Orientasi kepentingan rakyat

Setiap orang yang mempunyai landasan kuat tentang arti kebermanfaatan hidupnya bagi orang lain, maka setiap tindakan yang dilakukan pasti akan mengarahkannya pada wilayah perbaikan. Lambat laun seiring berjalannya waktu, hasil jerih payah disertai dengan amal yang istiqomah akan memberikan hasil yang luar biasa. Nilai inilah yang kita sebut nilai kebermanfaatan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada ummatnya bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi orang lain. Apa daya jika seluruh tindakan yang dilakukan hanya untuk kepentingan duniawi atau keuntungan semata.

Dalam lingkup apapun, seseorang harus mengorientasikan segala tindakannya untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam lingkup yang lebih luas, presiden sebagai pemimpin negara harus bisa memberikan contoh bagaimana memimpin dengan bervisi pada nilai kebermanfaatan. Orientasi kepentingan nasional yang berpihak kepada rakyat harus menjadi ruh bagi seorang presiden, terlebih di negara yang mayoritas muslim ini.

2. Sinergitas dan konsistensi yang kokoh

Permasalahan moral seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), menjamurnya pergaulan bebas sampai dengan meningkatnya tindakan kriminalitas bisa jadi disebabkan karena minimnya teladan yang diberikan oleh seorang pemimpin. Peran pemimpin pada hakikatnya bukan sekedar memimpin sebuah lembaga tok, ataupun cukup dengan melayani rakyat saja, tetapi hal yang lebih penting adalah bagaimana dia memberikan teladan lewat kehidupannya sehari-hari.

Seorang pemimpin mampu untuk meramu setiap kearifan lokal yang berasal dari Sabang sampai dengan Merauke menjadi sebuah identitas bangsa yang kokoh. Nilai persatuan dan kesatuan yang sudah tertanam sejak lama, harus terus dibangkitkan di tengah gesekan-gesekan kapitalisme yang tidak jarang membuat setiap orang untuk semakin individualistis.

Sinergitas dan konsistensi yang kokoh antara setiap pemimpin untuk senantiasa menjadi teladan diimbangi dengan komitmen masyarakat untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan dan siap menjaga ciri khas identitas bangsa maka akan dipastikan negeri ini pasti mampu memilih dengan selektif setiap budaya asing yang masuk.

3. Pendidikan karakter yang kuat dan mengakar

Dunia persaingan global menuntut kompetensi yang lebih bagi siapapun yang ikut di dalamnya. Tidak cukup untuk mempunyai hard skill yang tinggi, karena dunia kini semakin yakin bahwa soft skill berupa attitude menjadi sebuah keniscayaan untuk masuk menjadi pemain dalam pertarungan global.

Memasuki percaturan global, sudah semestinya Indonesia tidak hanya berkutat sebagai follower saja. Dengan sumber daya manusia yang melimpah sudah seharusnya kita menjadi soko guru peradaban di dunia. Hal ini tentu akan terwujud jika kita mampu untuk mandiri dalam segala bidang dan berani untuk melawan setiap kebijakan global yang bertentangan dengan identitas bangsa ini.

Kemampuan untuk mandiri dan berani menyatakan sebuah kebenaran dibangun bukan atas dasar kepahaman akan arti knowledge saja, tetapi lebih ditekankan pada kesadaran sebagai bangsa yang merdeka yang harus bersyukur kepada Allah SWT.

Dalam pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah SWT, oleh karena itu konsekuensi yang harus diemban sebagai tanggung jawab seorang Indonesianis sejati pada hakikatnya adalah menjalani apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, dalam segala aspek apapun.

Inilah sebenarnya pendidikan karakter yang kuat dan mengakar dalam diri setiap manusia Indonesia. Kekuatan spiritual ternyata akan menjawab setiap hingar bingar pengaruh global. Seorang pemimpin harus mampu membahasakan ini semua kepada setiap elemen bangsa dan negara, bukan semata untuk dijadikan slogan politik an sich.



D. Penutup


Berbagai kisah hidup para pemimpin besar memberikan kita pelajaran bagaimana tekad dan perbuatan mereka ternyata didedikasikan sepenuhnya untuk kebermanfaatan orang banyak. Mari tengok para pejuang seperti Ir. Soekarno, Jenderal Soedirman maupun M. Natsir. Tiga tokoh tersebut dengan bangga menghabiskan seluruh waktunya, berjuang tanpa kenal lelah untuk membangun bangsa dan negara tercinta.

Mari renungi kembali hakikat perjuangan para pejuang kebanggaan Indonesia tersebut. Bangga menjadi bangsa yang mandiri, berani untuk mengatakan tidak kepada siapapun yang berusaha mengganggu kedaulatan negara, dan tidak malu untuk belajar kepada siapapun.

Kita membutuhkan pemimpin seperti itu. Mampu membahasakan setiap idenya kepada seluruh masyarakat Indonesia, tentu disertai dengan prinsip dan tekad yang kuat untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.



Wallahu’alam bishshawab.








Daftar Pustaka :


Rudito, Bambang dan Melia Famiola. 2008. Social Mapping : Metode Pemetaan Sosial. Bandung : Rekayasa Sains.

Thohari, Hamim. 2006. “Berjamaah Hadapi Setan Global”. Surabaya : Suara Hidayatullah.

Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi. Jakarta : PT. Grasindo.

Waters, Malcolm. 1996. Globalization. New York : Routledge.