Thursday, July 9, 2009

Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara



Titik Nadir Demokrasi:
Kesunyian Manusia dalam Negara
(catatan singkat buku karya Emha Ainun Nadjib)



Bungkam. Manut. Tak punya Alasan! Gejolak kritis khas pemuda bungkam, diam seribu bahasa. Manut, seakan kepala hanya bisa mengangguk keatas dan kebawah.
Tak ada rasa untuk menggelengkan kepala ke samping kiri dan kanan. Kita peduli, tapi tak punya alasan. Sayang, engkau pun hanya bisa manut, manut dan manut!

Sebuah tulisan karya Emha Ainun Nadjib yang saya temukan dipojok lemari buku. Ini bukan buku best seller seperti halnya Laskar Pelangi yang Anda koleksi. Ini juga bukan tontonan menarik layaknya Ketika Cinta Bertasbih yang Anda tonton di Bioskop. Tapi semoga ini jadi bahan bacaan sederhana bagi Anda semua.



TITIK NADIR DEMOKRASI:
KESUNYIAN MANUSIA DALAM NEGARA
Emha Ainun Nadjib
Penerbit Zaituna, Yogyakarta
368 halaman




Seorang Camat tentu saja memandang Bupati sebagai atasannya. Tetapi celakanya jika rakyat juga memandang pejabat sebagai atasannya. Ini warisan sejarah feodal – dan dikukuhkan oleh refeodalisasi budaya yang rupanya diperlukan oleh politik birokrasi negara kita. Dan karena itu, lebih celaka lagi, karena pejabat memandang rakyat sebagai bawahan. Hal ini bahkan terefleksikan ke dalam idiom kebahasaan : rakyat selalu disebut rakyat biasa, sehingga pejabat pastilah rakyat luar biasa.

Orang miskin merasa bahwa orang kaya adalah ‘atasan’-nya. Ulama menganggap bahwa para jamaah adalah ‘bawahannya’. Otoritas dalam bidang apapun hampir selalu melahirkan budaya hirarkis-vertikal. Murid sekolah secara psikologis melihat Guru adalah atasan dan susahnya banyak dosen-dosen juga meletakkan mahasiswa seolah-olah bawahannya.

‘Festival’ salah kaprah seperti itu mungkin tak pernah Anda bayangkan seberapa kerugian yang ditimbulkannya. Baik kerugian fungsi, ilmu, kreatifitas serta kerugian sejarah secara menyeluruh. Kalau seorang Guru melihat muridnya sebagai bawahan, maka prospek kreatifitas keilmuan cenderung menumpul baik pada guru maupun pada murid. Kalau seorang pegawai memandang masyarakat sebagai ‘orang di dataran bawah’ maka prinsip fungsionalitas birokrasi menjadi rusak, filosopi negara dan rakyat menjadi terbalik, sementara itu tinggal kita hitung berapa defisit proses, kerugian demokrasi, bahkan berapa jumlah anggaran yang menjadi tidak efektif terhadap kehendak pembangunan yang sebenarnya.

Yang paling menyedihkan ialah kenyataan bahwa banyak kalangan masyarakat umum, bahkan kaum terpelajar dan birokrat, yang tidak memahami bahwa itu semua salah kaprah. Generasi mutakhir kita dilahirkan, dibesarkan dan dididik oleh atmosfer yang demikian, dan mereka tidak cukup menyadari bahwa seharusnya tidaklah demikian.

Seorang ketua RT berpidato diiringi ajudan yang membawakan kacamatanya. Seorang Dosen kehilangan keterampilan membuka pintu mobil dan membawa tasnya ke kantor fakultas, sehingga diperlukan pembantu yang menolongnya. Pak Kades, Pak Camat, atau apalagi Pak Bupati, memilih bentuk upacara dan performance-nya dalam konteks apapun dengan ubo rampe ala pangeran atau raja. Seorang Direktur perusahaan atau seorang Kasubdit merasa bahwa tatkala makan di restoran atau bung air besar di WC ia tetaplah seorang Direktur dan Kasubdit.

…..